Arsip Artikel

Antisipasi Masalah Hukum Sebelum dan Setelah Pernikahan Sah

Sumber : www.hukumonline.com/berita/baca/lt607d434d99c72/antisipasi-masalah-hukum-sebelum-dan-setelah-pernikahan-sah?page=all

Oleh : Aida Mardatillah

Jadi, persiapan suatu pernikahan harus dilakukan secara matang, harus siap fisik, mental, psikis, sosial, ekonomi, batin, budaya dan spiritualnya agar terhindar dari permasalahan hukum pernikahan baik itu KDRT hingga perceraian.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, dalam sebuah pernikahan seringkali mendapatkan permasalahan, dari mulai ekonomi, keluarga kedua belah pihak, perselingkungan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Bahkan, sebelum melaksanakan pernikahan pun terdapat beberapa permasalahan yang mengakibatkan pernikahan tidak sah. Bila sampai ke jenjang pernikahan, diperkirakan mendapatkan permasalahan setelah menikah. Untuk itu, sebelum menikah diharuskan untuk lebih siap secara fisik, psikis, batin, spiritual, sosial, dan budayanya.

Pandangan itu disampaikan Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI), Heru Susetyo. “Permasalahan pernikahan tidak hanya terjadi setelah menikah, bahkan dapat terjadi sebelum pernikahan dilaksanakan, misalnya batal dalam pernikahan,” kata Heru Susetyo dalam diskusi live yang digelar Klinik Hukumonline, Jum’at (17/4/2021) kemarin.  

Heru memaparkan batalnya pernikahan ini dapat berakibat hukum, bisa diajukan gugatan wanprestasi, bila salah satu pihak melanggar janji untuk melaksanakan pernikahan. Tapi, dilihat terlebih dahulu apa permasalahanya dan apakah janji tersebut ditulis di atas kertas. “Dapat melakukan gugatan wanprestasi, perdata dan pidana, apabila janji tersebut tertulis diatas kertas. Atau berbohong akan menikahkan, tetapi sebelumnya telah melakukan hubungan seksual yang merugikan salah satu pihak, itu ada akibat hukumnya,” kata Heru.

Namun, apabila janji itu hanya secara lisan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dalam janji, tidak dapat melakukan gugatan ke pengadilan. Contoh lain, jika seorang sepasang kekasih sudah melakukan lamaran dan salah satu pihak sudah mempersiapkan biaya gedung, makanan, dan lain-lain, tetapi dibatalkan oleh pihak lain. Maka, pihak yang sudah mengeluarkan biaya tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

“Jadi, kalau hanya pacaran saja dan janji ingin menikahkan, tidak ada kerugian baik fisik, psikis, batin, seksualitasnya, ekonominya maka tidak bisa dilakukan gugatan ke pengadilan.”

“Maka dari itu sebelum memilih seseorang untuk dinikahkan ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu orang tersebut. Apakah dirinya sudah siap secara fisik, psikis, sosial, batin, budaya dan spiritualnya agar tidak terjadi hal-hal yang malah merugikan salah satu pihak. Jadi, harus dilihat untuk kesiapan dari pasangannya tersebut,” terangnya.

Permasalahan lain, misalnya dua orang yang sudah melaksanakan ijab kabul dan sah di mata agama dan negara. Lalu, salah satu pihaknya pergi begitu saja tidak bertanggung jawab terhadap nafkah batin, fisik, ekonomi. Hal ini menjadi masalah dalam pernikahan dan harus segera berkomunikasi yang baik diantara keduanya dan meminta hak masing-masing.

“Jika dia langsung menghilang begitu saja, berarti belum siap lahir batin. Ini berbahaya, meremehkan pernikahan itu sendiri,” ujarnya.

Terkait permasalahan setelah menikah, Heru menerangkan permasalahan pernikahan itu bermacam-macam dan beragam yang mengakibatkan suami dan istri itu bercerai. Ia menyebut ada yang mengalami permasalahan perekonomian yang mengakibatkan perceraian; ada yang mengalami kekerasan rumah tangga; ada yang mengalami kekerasan seksual; adanya perselingkuhan; adanya permasalahan antar keluarga misalnya dengan ipar atau mertua.

Apabila niat bercerai itu sudah sampai ke pengadilan, lanjutnya, hakim biasanya tidak akan ikut campur terlalu jauh dan menyarankan untuk mediasi, apakah mau rujuk lagi atau memang sudah tidak bisa bersama lagi. Biasanya alasan yang sering muncul di pengadilan ketika gugatan perceraian ialah adanya percekcokan atau pertengkaran terus menerus yang tidak bisa dihindari.

“Sebelum perceraian alangkah baiknya dipikir baik-baik, karena nantinya akan menimbulkan permasalahan hak asuh anak, pembagian harta gono gini yang seringkali menimbulkan permasalahan hukum,” tuturnya.

Ia mengingatkan dalam sebuah pernikahan sah-sah saja untuk melakukan perjanjian pernikahan, misalnya perjanjian harta selama tidak melanggar syariah agama. Keduanya harus saling terbuka satu sama lain agar perjanjian perkawinan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

“Jadi, persiapan sebuah pernikahan harus dilakukan secara matang, harus siap fisik, mental, psikis, sosial, ekonomi, batin, budaya dan spiritualnya agar terhindar dari permasalahan hukum pernikahan baik itu KDRT hingga perceraian."